Kamis, 05 Februari 2009

MENYELAMATKAN PELAJAR DARI BAHAYA ROKOK

MENYELAMATKAN PELAJAR DARI BAHAYA ROKOK

PERLUKAH?

Aji Satria R

Siswa Kelas X 2 SMA 1 Genteng, Banyuwangi

Juga alumni SMP Unggulan Bustanul Makmur Genteng

Survey pernah dilakukan oleh lembaga independen di beberapa kota menunjukkan bukti siqnifikan bahwa remaja kita setingkat usia SMP lebih 40 % siswa mulai belajar merokok atau coba-coba merokok. Sementara level SMA lebih 70% siswa sudah memiliki kebiasaan merokok. Secara umum orang tua, guru (termasuk juga di dalamnya ulama), tidak senang bahkan melarang keras bagi anak-anaknya, murid-muridnya, santrinya merokok. Karena alasan apapun mereka menyadari bahwasanya merokok itu tidak baik, tidak ada manfaatnya bahkan dapat menimbulkan berbagai penyakit terutama kanker yang paling ditakuti. Ada beberapa hal yang sulit bagi orang tua, guru untuk memproteksi anak dari cenderung merokok (1) pada umumnya orang tua, guru biasa merokok secara terbuka di depan anak-anaknya, murid-muridnya (2) pengaruh promosi rokok yang luar biasa, vulgar bahkan didukung (dapat izin) aparat (3) trend anak muda merokok telah menjadi mitos kejantanan, kemerdekaan, kebebasan.

Serba ironis.

Lembaga pendidikan yang seharus stiril dari hal-hal yang tidak patut tidak berlaku bagi rokok. Guru, pegawai, tamu, bakul, yang ada di lingkungan sekolah seharusnya tidak ‘demonstratif’ merokok tanpa bersalah. Bahkan yang ‘kebacut’ di depan kelas ada guru mengajar sambil merokok, dengan dalih tidak bisa berfikir optimal tanpa merokok. Apalagi sekarang lagi marak promo rokok lewat kegiatan panggung musik dengan menampilkan artis-artis ternama. Tragisnya tiketnya berupa sebungkus rokok. Dapat izin dari pemerintah lagi. Tentunya ajang anak-anak muda diwarnai oleh upaya produsen industri rokok untuk melakukan penetrasi secara nyata terhadap calon konsumen pemula. Masih belum puas, sekolah-sekolah level SMA dilayani panggung gratis berlabel rokok (sebut saja LA light) berserta alat-alat musiknya. Seolah ada kesan kepedulian perusahaan rokok terhadap dunia pendidikan. Dunia pendidikan kita benar-benar sesat di jalan yang terang! Bukankah kita punya instrumen untuk meminimalisasi penetrasi aksi mereka itu? Kita punya Departemen Agama/Dinas Pendidikan, Departemen/Dinas Kesehatan, Dewan Pendidikan, MUI, BPOM, LSM antirokok, dll, tetapi mengapa tidak pernah ada teguran atau larangan atau upaya hukum. Padahal mereka benar-benar telah melanggar kode etik, bahkan promo-promo menyesatkan. Akibatnya mereka melakukan itu tanpa ada rasa bersalah.

Promo Sesat dan Menyesatkan.

MILD, LIGHT, LOW adalah istilah yang salah bahkan sesat. Menurut dr Piet G Manoppo dari staf Depkes RI adalah jurus perusahaan industri produksi rokok untuk mendongkrak tingkat adiksi konsumen secara perlahan. Masih kata dokter Piet, dalam psikologi sosial, ini namanya manipulasi kesadaran. Yang benar dalam bentuk apapun industri rokok telah mengakui bahwa “kebiasaan merokok tidak akan pernah aman”. Tetapi mengapa sampai hari ini tidak ada satupun lembaga yang bergeming atas nama kebenaran. Di Amerika (saya baca majalah) pada Agustus 2006, Hakim District Amerika, Gladys Kessler, resmi melarang label low nicotien, low tar, mild, dan light pada semua merk rokok. Bahkan Kessler menegaskan lagi tanggal 16 Maret 2007 bahwasanya keputusan itu berlaku di seluruh dunia, bukan hanya di AS. Mengapa Kessler serius? Kerana label terbukti itu bohong alias sesat dan menyesatkan! Bahkan di bagian negara Eropa mewajibkan industri rokok menulis besar-besar ‘merokok menyebabkan kematian lebih cepat’ di bungkus bagian luar rokok. Tetapi sayang hal tersebut tidak pernah ‘digubris’ oleh industri rokok di negeri kita.

Racun Rokok. Sekedar diketahui bahwasanya di dalam sebatang rokok menurut penelitian para ahli medis terdapat kurang lebih 4000 jenis racun. Di antara yang lazim diketahui amat berbahaya adalah tar, nikotin, karbon monoksida, arsen, alkhohol (untuk melarutkan ramuan). Bandingkan khamr berpotensi menimbulkan 25 jenis penyakit diharamkan. Daging khinzir berpotensi menimbulkan 15 jenis penyakit juga diharamkan. Bagaimana dengan sebatang rokok dengan kandungan 4000 racun? Patut diapakan ya?

Rokok dan Kematian. Melihat korban akibat rokok, misalnya yang terjadi di AS, menurut laporan Departemen Kesehatan Amerika Serikat bahwa penyebab tertinggi kasus kematian dalam setiap tahun di Amerika Serikat ternyata penyakit akibat merokok. Urutan dari tujuh penyebab kasus kematian terbanyak di Amerika Serikat yang dikutip dari laporan kematian tahunan (Comparative Causes Of Annual Deaths) selama tahun 2000 dari United States Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control (dibulatkan dalam ribuan) adalah sebagai berikut: 1) penyakit akibat merokok 430.000, 2) minuman keras 81.000, 3) kecelakaan lalu-lintas 41.000, 4) pembunuhan 30.000, 5) bunuh diri 19.000, 6) AIDS 17.000, 7) penyalah gunaan obat14.000 orang.

Sementara Badan Kesehatan Dunia, WHO, (2003) merata-rata sekitar 5.000 setiap tahun orang meninggal akibat asap rokok. Bahkan kalau tidak ada tindakan yang siqnifikan dari semua pihak pada tahun 2010 diprediksi akan bertambah menjadi 8.000 orang mati karena asap rokok. Korban terbesar adalah negara berkembang. Negara kita tergolong pengguna rokok terbesar kelima dunia. Penduduk kita rata menghisap 208 milyar batang rokok pertahun. Kalau panjang rata-rata rokok perbatang 9 cm maka 208 milyar batang rokok jika dirantai menjadi 18,720,000 km.

Rakok dan Kemiskinan. Prihatin juga, dari 141,4 juta perokok di republik kita (prediksi tahun 2002), sekitar 84,4 juta adalah warga miskin yang berpenghasilan kurang dari Rp.20 ribu per hari. Dalam survei KPAI juga ditemukan lebih dari 43 juta anak Indonesia (64,2%) hidup serumah dengan perokok sehingga ikut menjadi perokok pasif. Risiko gangguan kesehatan mereka meningkat. karena anak-anak yang terpapar asap tembakau sejak dini rentan mengalami pertumbuhan paru yang lambat, lebih mudah terkena bronkitis, infeksi saluran pernafasan, infeksi telinga serta asma. Akbibatnya sekitar 43 juta anak usia hingga 18 tahun terancam penyakit mematikan itu. Hal ini dibenarkan oleh Abdillah Ahsan, Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI mengatakan bahwa perokok mayoritas adalah orang miskin karena berakibat terhadap ekonomi mereka. Dalam penelitiannya rokok ada pada peringkat 2 dalam 25 daftar kebutuhan mereka. Kurang lebih 12% penghasilan mereka perbulan dibelanjakan untuk rokok. Sedangkan untuk biaya pendidikan anak-anaknya 2%. Ini artinya bahwa alokasi belanja rokok lebih besar 6 kali biaya pendidikan bagi anak-anaknya.

Sementara itu berita buruk tentang bahaya rokok dari Paiboon Wattanasiritham, mantan Wakil Perdana Menteri, dan mantan Ketua Yayasan Promosi Kesehatan Thailand, dalam pidatonya pada pembukaan lokakarya SEATCA (LSM Antirokok Negara Asia Tenggara). Dia menyebutkan, pada 2020, diperkirakan 70 persen kematian di negara berkembang disebabkan oleh dampak rokok, meningkat dari saat ini yang sudah mencapai 50 persen. Itu artinya peningkatan juga dalam hal pengeluaran untuk biaya kesehatan, dan berkurangnya produktivitas.

Bagaimana seharusnya? Gambaran di atas memberikan sedikit pencerahan betapa bahaya rokok terhadap kesehatan tidak hanya kepada si perokok juga dampak negatifnya kepada siapa saja di sekitarnya. AA Gym, dai kondang itu, mengatakan bahwa merokok tidak hanya merugikan diri sendiri juga orang lain di sekitarnya. Karenanya kebiasaan merokok boleh dikategorikan tabiat buruk. Lalu bagaimana agar generasi muda kita khususnya remaja kita tidak serta merta terbawa oleh dunia negatif itu? Ternyata himbauan pemerintah bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, impotensi dan kemandulan, belum cukup meyakinkan mereka. Barangkali sekedar memberikan masukan atas diri siswa selevel saya :

1. Sekolah harus stiril dari hal-hal yang tidak patut termasuk merokok. Pemerintah mengeluarkan aturan yang tegas melarang terhadap siapa saja tidak boleh merokok di lingkungan sekolah. Tidak sekedar himbauan atau slogan no smoking.

2. Pemerintah melarang promosi yang bersifat penetrasi terbuka seperti dijelaskan di atas, bila perlu dilarang sama sekali dalam bentuk apapun..

3. Pemerintah menaikkan cukai rokok berlipat, sehingga rokok menjadi barang mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah terlebih oleh remaja.

4. Pemerintah memberikan beasiswa atau apa yang lebih menarik kepada siswa yang bersedia tidak merokok misalnya sampai lulus sarjana.

5. Ada kepedulian lembaga pemerintah non-pemerintah untuk ikut serta menghambat pengaruh rokok terhadap generasi muda/remaja.

6. Syukur kalau Majelis Ulama Indonesia (MUI) berkenan memberikan fatwa haram pada rokok.

Harga Generasi Tidak Lebih Murah daripada Rokok. Saya yakin negara tidak akan ambruk tanpa rokok. In put dari cukai rokok hampir 22T pertahun (katanya jika tidak banyak kebocoran sampai 45T, edan) hanya 2.2% dari keseluruhan sektor penyumbang devisa ke negara. Dari 66 sektor itu, industri rokok di urutan 34 sedangkan pertanian tembakau di urutan 62. Urutan teratas perdagangan dan konstruksi. Demikian juga di sektor tenaga kerja. Pabrik rokok penyerap tenaga kerja di urutan 30, pertanian tembakau di nomor 46. Sementara cukai rokok kita tergolong rendah 37%, bandingkan dengan Thailand 75%, India 55%, Bangladesh 63% dan Philipina 55%. Demikian data hasil penelitian intelektual FE UI, Bapak Abdillah Ahsan tahun 2007.

40T rupiah sumbangan rokok terhadap pendapatan negara tidak lebih mahal dari harga kesehatan generasi mendatang. Setuju atau tidak, yang pasti kejayaan negara di masa mendatang tidak akan bisa diharapkan dari generasi yang sakit-sakitan. Yo opo ora?

Imperald@yahoo.co.id atau uongtuo@yahoo.co.id atau kunjungi URL: Friendster.com/satriabmx

MEMIMPIKAN SEKOLAH TANPA KEKERASAN


MEMIMPIKAN SEKOLAH TANPA KEKERASAN

Mochammad Rifai

Tampaknya menghindarkan sekolah dari praktik kekerasan (bullying) masih belum bisa. Malahan cenderung menjadi sistemik alias diakui sebagian praktisi pendidikan guru-guru sebagai suatu dalam bagian sistem pendidikan. Entah dari mana mereka dapatkan referensi itu. Sepanjang ingatan saya belajar ilmu pendidikan, psikologi pendidikan, belum pernah saya menemukan pendapat para ahli yang membenarkan hal itu.

Belum lama kita disugihi berita menarik dari perilaku pendidikan yang tidak menarik yakni praktik kekerasan di STPDN, Geng Nero, MOS di beberapa sekolah, betapa benar hipotesis saya bahwa bullying -pinjam istilah kekerasan di Amerika- masih menjadi kultur di sekolah kita. Sungguh ini merupakan bagian dari persoalan yang tidak kalah pentingnya untuk kita kaji faktor-faktor penyebabnya. Selanjutnya melalui kekuatan birokrasi pendidikan atau kesadaran stakeholder sekolah untuk mengikis habis gaya dan pola paradigma penanganan anak apapun dalihnya harus dijauhkan dari praktik kekerasan baik pisik apalagi psikologis bagi anak-anak.

Kalaulah apa yang saya lihat dan dari pengalaman sempit saya tentang data masih kentalnya praktik kekerasan di sekolah, ada satu referensi hasil penelitian Yayasan Semai Jiwa Amini (2006) yang menunjukkan bahwa 10% guru melakukan kekerasan fisik sebagai bagian dari hukuman. Sebanyak 10% juga guru berpendapat bahwa hukuman fisik merupakan cara yang efektif untuk menegur siswa. Sedangkan, 27,5% guru beranggapan bahwa kekerasan itu tidak akan berdampak pada psikologis siswa. Ini menyiratkan satu makna penting, bahwa masih ada saja guru di sekolah yang menganggap kekerasan adalah bagian dari proses pendidikan.

Memang benar, guru merupakan faktor dominan dan paling penting dalam sekolah. Karenanya, guru itu seyogyanya memiliki perilaku dan kemampuan yang memadai untuk mengembangkan siswanya secara utuh. Kemampuan guru yang dibutuhkan sekolah menurut Pullias dan Young (1968) tidak hanya kemampuan pedagogis saja yakni menguasai mata pelajaran tertentu dan cara memanage kelas dengan baik. Tetapi juga kemampuan menguasai andragogis dalam arti mempunyai kemampuan dalam hal ilmu psikologi, psikiatri dan sosiologi.


Bagi siswa, sosok guru yang diharapkan dalam sekolah adalah orang yang mampu membawa kemaslahatan terhadap sesama dan mampu berperan sebagai sahabat, kakak, bapak-ibu yang penuh kasih sayang sehingga betul-betul dapat membantu perkembangan pribadinya secara utuh. Kalau guru berpenampilan, bergaya, sebagai sosok yang serba lebih di hadapi siswa sudah jauh dari kenyataan. Guru seperti itu tidak sadar bahwasanya dirinya sedang seperti ibarat katak dalam tempurung. Lihatlah apa yang ada dan terjadi di luar tembok sekolah, orang yang lebih berkualitas dari sosok guru sangatlah melimpah dan perkembangan yang terjadi (bisa teknologi, informasi, dst) bisa empat kali lebih cepat daripada yang ada dan yang terjadi di sekolah. Dewasa ini siswa sebagai peserta didik bisa mengukur sekualitas apa sosok gurunya. Sementara guru sering tidak tahu diri.

Karena itu, apa pun alasannya, kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya tidak hanya mencoreng nama baik lembaga dan profesinya, tapi juga menumbuhkan pribadi siswa yang buruk pula (baca: Doroty Law Nolte). Kekerasan dapat membuat siswa yang dikenai kekerasan itu jiwanya menjadi tertetekan, depresi, kerdil, rendah diri dan mudah emosional. Lain dari pada itu, hukuman dengan kekerasan tidak akan membuat siswa jera, tapi menumbuhkan perasaan benci dan tidak hormat kepada guru yang bersangkutan. Pendidikan jangan sampai melahirkan anak-anak berjiwa enlander tetapi pendidikan yang membebaskan dari dan membebaskan untuk, agar kita segera sejajar dengan bangsa lain.

Beberapa Sebab Kekerasan

Ada beberapa penyebab mengapa kekerasan masih mengakar dan kerap diakomodir guru dalam praktik kehidupan di sekolah. Pertama, adanya persoalan sistemik. Selama ini, otonomi guru di sekolah dalam menentukan pembelajaran masih bersifat sentralistik. Padahal, sistem otonomi daerah sudah diterapkan di berbagai lini kehidupan masyarakat.
Untuk ujian kelulusan (UAN) siswa saja misalnya, masih berkiblat aturan pusat. Sementara, UU Sisdiknas No. 20/2003, pasal 39 ayat 2 tegas menyatakan bahwa pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, pelatihan, dan penelitian. Dan, dalam pasal 56 ayat 1, menyebutkan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh para pendidik untuk memantau proses kemajuan dan perbaikan hasil pembelajaran. Akibatnya, ‘tubuh’ para guru itu bertransformasi menjadi makanis dan birokratis (lihat saja dari model dan bentuk pakaian dinasnya pating trempel dengan logo). Mereka tidak lagi berpegang teguh pada nilai-nilai humanis dan demokratis. Karena, yang ada dalam diri para guru adalah tatanan fetisisme terhadap aturan juklak dan juknis. Dengan demikian, sistem ini mau tak mau harus mereka terapkan pada siswanya. Siswa yang melanggar prinsip sistem ini, harus dihukum, sekalipun dengan cara-cara kekerasan. Tujuannya, agar lalu lintas kinerja sistem pendidikan sentralistik ini tidak lagi terganggu.

Kedua, pendidikan kita terlampau menekankan seremonial dan protokoler. Bahkan ada orang bilang sok militer. Alasan tuntutan sereminial inilah teguran, hukuman dan bahkan kekerasan kerap terjadi. Sekolah lebih didekatkan sebagai kantor pemerintah daripada sebagai taman atau tempat belajar bagi warga sekolah. Standar perilaku siswa diukur dengan PNS. Padahal tugas sekolah menciptakan juga jiwa interprenuer, kemandirian, menumbuhkembangkan telenta untuk membangun life skill.

Ketiga, ketidakadilan sosial. Ini terlihat dari adanya pendistribusian dana pendidikan di sekolah. Dalam bantuan dana pengadaan sarana pendidikan misalnya, pihak depdiknas sendiri masih bersikap diskriminatif. Sekolah yang dianggap bergengsi dan memberikan distribusi paling meruah, akan lebih diprioritaskan untuk mendapatkan bantuan dana pendidikan, dibandingkan sekolah umum lainnya. Tidak hanya itu, pihak Depdiknas sendiri cenderung mengakomodasi kepentingan pengajar ilmu eksakta dalam melakukan kajian praktis ataupun mengikuti lomba ilmiah. Sedangkan, kepentingan praktis pengajar ilmu sosial sangat dimarjinalkan. Buktinya, sejak banyak siswa yang menang dalam kejuaraan ilmu eksakta bertaraf internasional, Depdiknas mengucurkan dana secara deras pada sekolah-sekolah untuk menggenjot potensi siswa di bidang eksakta. Padahal, David Dikson (1999) pernah mengatakan bahwa mengunggulkan ilmu eksakta an sich dalam pendidikan sama halnya bersekutu dengan setan.

Keempat, yang terjadi antarsiswa (terlihat dalam MOS misalnya) adalah didorong pandangan senioritas dan yunioritas. Dengan berbagai cara yang kurang pas misalnya dengan bentak-bentak para senior memaksa yuniornya untuk menghargai dan menghormati. Apa ya harus begitu! Dan ini didukung sebagian para guru.

Kelima, faktor warisan dan balas dendam. Apa yang terjadi hari ini di sekolah, banyak terinspirasi oleh warisan terdahulu. Masih banyak guru yang mewarisi gaya dan paradigma gurunya dulu, misalnya merampas aksesories siswa tanpa bersalah, memotong rambut siswa yang tidak sesuai selera guru dengan sewenang-wenang, dan tindakkan premanisme lainnya tanpa disadari bahwa itu teladan buruk. Demikian juga siswa, akan mewarisan perilaku kakak kelasnya dan ditambah unsur balas dendam.

Jangan aneh kalau kita melihat tingkah laku kasar generasi kita, rendah unggah-ungguh, suka mengambil jalan pintas, menyeselaikan perbedaan, persoalan dengan kekerasan, itulah jujur kita akui sebagai bagian produk pendidikan kita.

Nah, kita berharap di tahun pelajaran 2008 ini praktik kekerasan dan penganiayaan (bullying) apa untuk alasan mendidik disiplin dst sudah tidak perlu ada di sekolah kita, jika kita ingin mereka tumbuh menjadi manusia yang berbudi pekerti halus, berkepribadian utuh dan berpenampilan simpatik, sebagaimana Ki Hajar Dewantara pernah mengajarkan kepada kita.

Tentu harapan ini tidak hanya sebatas angan-angan belaka. Pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan dan organnya tidak boleh hanya menunggu hasil laporan masyarakat/LSM dan para peduli pendidikan. Sementara itu juga penguasa (bupati) tidak hanya bangga dengan kebijakan politik program sekolah gratis. Tetapi harus jauh menerawang bagaimana nasib bangsa ini ke depan dengan menempatkan sekolah sebagai pijakan. Ingat mutu sekolah adalah mutu bangsa dan sekaligus harga diri bangsa. Jauhkan sekolah dari praktik kekerasan dan jargon politik belaka.

Penulis adalah guru sma 2 genteng, Banyuwangi. Mantan Kasek SMP SBI, aktivis. Tinggal di Genteng.

PREMAN DAN PREMANISME

PREMAN DAN PREMANISME

Mochammad Rifai*

Kata preman berasal dari bahasa Belanda ‘vrijmen’ dalam bahasa Inggris ‘freeman’ artinya orang bebas. Pengertian orang bebas dalam konteks sejarah kolonial adalah orang yang tidak terikat oleh birokrasi pemerintahan. Kemudian kata vrijman atau freeman dieja Indonesia menjadi preman artinya orang yang sedang bebas, tidak terikat dinas, di luar jam dinas atau sedang berlibur. Istilah ini populer dipakai di lingkungan militer, polisi atau pegawai negeri. Preman juga dikaitkan dengan mencari tambahan penghasilan di luar jam dinas. Di lingkungan militer lazim dengan istilah ‘ngepam’ yakni menjual jasa keamanan misalnya mall, gedung bioskop, bank, hotel, tempat hiburan, dll.

Sekarang ini, preman identik dengan kejahatan terbuka seperti pemerasan, pungutan liar, pemalakan, melakukan sesuatu semau gue, membuat aturan sendiri. Sejalan dengan sempitnya lapangan kerja, pengangguran, ekonomi susah, kuatnya egoisme, lemahnya hukum, kesenjangan yang kian menganga, kapitalisasi merajalela mendorong mereka yang tidak beruntung dan memiliki nyali memilih menjadi preman. Jadilah preman sebuah pekerjaan, sekalipun illegal. Barangkali bagi mereka lebih elegan dari pada memelas minta-minta atau menipu. Paling tidak ada unsur jagoan. Hampir di setiap sudut keramaian dipastikan ada preman. Belum lagi preman jalanan. Layaknya birokrasi pemerintahan, preman juga punya wilayah kekuasaan. Makin marak preman, terasa mengganggu kenyamanan dan keamanan masyarakat bahkan secara nasional.

Preman tidak hanya populer di negeri kita. Di banyak negara bahkan terorganisasi. Kita kenal kelompok Pablow Escobar di Colombia, Mafioso di Italia, Triat di Hongkong. Di Jakarta kita juga sering dengar kelompok preman terorganisasi seperti Kapak Merah, Hercules, entah apa lagi. Lebih ironis lagi kawanan preman justru sering dimobilisasi dan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan tertentu misalnya untuk memenangkan persaingan bisnis, mendukung parpol, pilihan pemimpin dan sejenisnya. Lebih ruces lagi ada oknum aparat pemerintah menjalin kerja sama bagi hasil dengan para preman.

Tidaklah berlebihan jika Kapolri memerintahkan jajaran polisi di seluruh Indonesia untuk memberantas preman. Ribuan preman pun tertangkap dalam waktu sekejap saja. Rasanya polisi dengan segala perlengkapanya tidak terlalu sulit untuk menyapu bersih para preman. Tetapi bisakah semudah itu membersihkan praktik premanisme?

Premanisme bisa diartikan berperilaku layaknya preman. Perilaku premanisme adalah perilaku kontraproduktif, dzalim, pemerasan, pungutan liar, kekerasan, intimidasi, pokoknya semau gue, cari untung sendiri di luar prosedur hukum, norma dan kemanusiaan. Barangkali bedanya preman dan premanisme dalam praktiknya tetapi dalam prinsipnya sama yaitu kejahatan. Bedanya, preman cenderung tak terorganisasi rapi, penuh keterpaksaan karena dorong ekonomi, pendidikan rendah, di luar lembaga formal. Sementara premanisme lebih rapi terorganisasi, dorongan untuk sukses atau kaya lebih cepat, elitis, dan bisa berkembang pada lembaga-lembaga formal, birokrasi pemerintah maupun swasta.

Aksi premanisme bisa subur di mana saja termasuk di birokrasi pemerintah, hukum, pendidikan, lembaga bisnis, lembaga politik, pers, bahkan organisasi keagamaan. Tindakan premanisme kerap menimpa siapa saja yang berhubungan dengan birokrasi pemerintah mulai dari pungutan liar sampai pada gratifikasi. Jual beli perkara di sektor hukum. Intimidasi dan adu jotos antarpolitisi. Kekerasan dan pemerasan antara senior yunior di lembaga pendidikan. Pemaksaan dengan kekerasan karena berbeda pendapat dan keyakinan. Praktik debt collector para cukong. Tak kalah juga profesi wartawan, LSM efektif sebagai alat pemerasan, dst.

Premanisme menggunakan hukum rimba, menang-kalah, dengan otot dan kekerasan. Praktiknya premanisme juga bisa terjadi antarnegara sejak dulu kala hingga sekarang. Jengis Khan, Hulagu Khan, Ku Bilai Khan contoh negarawan premanisme yang terkenal di zamannya. Kolonialisme sebenarnya adalah tindakan premanisme sejati. Embargo yang dilakukan Amerika dan sekutunya atas negara-negara berkembang khususnya di Timur Tengah, dominasi Israel atas Palestina, identik dengan tindakan premanisme berskala internasional.

Preman bukanlah pekerjaan atau profesi. Dan premanisme bukan pula produk budaya. Keduanya adalah kebiadaban yang harus dilawan. Profesionalisme aparat penegak hukum tentunya sudah dibekali untuk memerangi para preman. Namun melihat fakta, tidaklah sederhana itu pemerintah melenyapkan para preman. Pendekatan hukum saja belum cukup. Penjara bukan solusi satu-satunya. Persoalan preman sangat kompleks. Tentunya dalam memecahkan masalah preman perlu pendekatan multidisipliner dan melibatkan banyak pihak. Sudah seharusnya negeri ini tenang , nyaman dan aman tanpa preman. Tetapi bagaimana dengan aksi premanisme?

*Guru SMA 2 Genteng, Pemerhati Sosial, Tim Litbang PCNU Banyuwangi. E-mail : mochammadrifai@yahoo.co.id.