Kamis, 05 Februari 2009

MEMIMPIKAN SEKOLAH TANPA KEKERASAN


MEMIMPIKAN SEKOLAH TANPA KEKERASAN

Mochammad Rifai

Tampaknya menghindarkan sekolah dari praktik kekerasan (bullying) masih belum bisa. Malahan cenderung menjadi sistemik alias diakui sebagian praktisi pendidikan guru-guru sebagai suatu dalam bagian sistem pendidikan. Entah dari mana mereka dapatkan referensi itu. Sepanjang ingatan saya belajar ilmu pendidikan, psikologi pendidikan, belum pernah saya menemukan pendapat para ahli yang membenarkan hal itu.

Belum lama kita disugihi berita menarik dari perilaku pendidikan yang tidak menarik yakni praktik kekerasan di STPDN, Geng Nero, MOS di beberapa sekolah, betapa benar hipotesis saya bahwa bullying -pinjam istilah kekerasan di Amerika- masih menjadi kultur di sekolah kita. Sungguh ini merupakan bagian dari persoalan yang tidak kalah pentingnya untuk kita kaji faktor-faktor penyebabnya. Selanjutnya melalui kekuatan birokrasi pendidikan atau kesadaran stakeholder sekolah untuk mengikis habis gaya dan pola paradigma penanganan anak apapun dalihnya harus dijauhkan dari praktik kekerasan baik pisik apalagi psikologis bagi anak-anak.

Kalaulah apa yang saya lihat dan dari pengalaman sempit saya tentang data masih kentalnya praktik kekerasan di sekolah, ada satu referensi hasil penelitian Yayasan Semai Jiwa Amini (2006) yang menunjukkan bahwa 10% guru melakukan kekerasan fisik sebagai bagian dari hukuman. Sebanyak 10% juga guru berpendapat bahwa hukuman fisik merupakan cara yang efektif untuk menegur siswa. Sedangkan, 27,5% guru beranggapan bahwa kekerasan itu tidak akan berdampak pada psikologis siswa. Ini menyiratkan satu makna penting, bahwa masih ada saja guru di sekolah yang menganggap kekerasan adalah bagian dari proses pendidikan.

Memang benar, guru merupakan faktor dominan dan paling penting dalam sekolah. Karenanya, guru itu seyogyanya memiliki perilaku dan kemampuan yang memadai untuk mengembangkan siswanya secara utuh. Kemampuan guru yang dibutuhkan sekolah menurut Pullias dan Young (1968) tidak hanya kemampuan pedagogis saja yakni menguasai mata pelajaran tertentu dan cara memanage kelas dengan baik. Tetapi juga kemampuan menguasai andragogis dalam arti mempunyai kemampuan dalam hal ilmu psikologi, psikiatri dan sosiologi.


Bagi siswa, sosok guru yang diharapkan dalam sekolah adalah orang yang mampu membawa kemaslahatan terhadap sesama dan mampu berperan sebagai sahabat, kakak, bapak-ibu yang penuh kasih sayang sehingga betul-betul dapat membantu perkembangan pribadinya secara utuh. Kalau guru berpenampilan, bergaya, sebagai sosok yang serba lebih di hadapi siswa sudah jauh dari kenyataan. Guru seperti itu tidak sadar bahwasanya dirinya sedang seperti ibarat katak dalam tempurung. Lihatlah apa yang ada dan terjadi di luar tembok sekolah, orang yang lebih berkualitas dari sosok guru sangatlah melimpah dan perkembangan yang terjadi (bisa teknologi, informasi, dst) bisa empat kali lebih cepat daripada yang ada dan yang terjadi di sekolah. Dewasa ini siswa sebagai peserta didik bisa mengukur sekualitas apa sosok gurunya. Sementara guru sering tidak tahu diri.

Karena itu, apa pun alasannya, kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya tidak hanya mencoreng nama baik lembaga dan profesinya, tapi juga menumbuhkan pribadi siswa yang buruk pula (baca: Doroty Law Nolte). Kekerasan dapat membuat siswa yang dikenai kekerasan itu jiwanya menjadi tertetekan, depresi, kerdil, rendah diri dan mudah emosional. Lain dari pada itu, hukuman dengan kekerasan tidak akan membuat siswa jera, tapi menumbuhkan perasaan benci dan tidak hormat kepada guru yang bersangkutan. Pendidikan jangan sampai melahirkan anak-anak berjiwa enlander tetapi pendidikan yang membebaskan dari dan membebaskan untuk, agar kita segera sejajar dengan bangsa lain.

Beberapa Sebab Kekerasan

Ada beberapa penyebab mengapa kekerasan masih mengakar dan kerap diakomodir guru dalam praktik kehidupan di sekolah. Pertama, adanya persoalan sistemik. Selama ini, otonomi guru di sekolah dalam menentukan pembelajaran masih bersifat sentralistik. Padahal, sistem otonomi daerah sudah diterapkan di berbagai lini kehidupan masyarakat.
Untuk ujian kelulusan (UAN) siswa saja misalnya, masih berkiblat aturan pusat. Sementara, UU Sisdiknas No. 20/2003, pasal 39 ayat 2 tegas menyatakan bahwa pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, pelatihan, dan penelitian. Dan, dalam pasal 56 ayat 1, menyebutkan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh para pendidik untuk memantau proses kemajuan dan perbaikan hasil pembelajaran. Akibatnya, ‘tubuh’ para guru itu bertransformasi menjadi makanis dan birokratis (lihat saja dari model dan bentuk pakaian dinasnya pating trempel dengan logo). Mereka tidak lagi berpegang teguh pada nilai-nilai humanis dan demokratis. Karena, yang ada dalam diri para guru adalah tatanan fetisisme terhadap aturan juklak dan juknis. Dengan demikian, sistem ini mau tak mau harus mereka terapkan pada siswanya. Siswa yang melanggar prinsip sistem ini, harus dihukum, sekalipun dengan cara-cara kekerasan. Tujuannya, agar lalu lintas kinerja sistem pendidikan sentralistik ini tidak lagi terganggu.

Kedua, pendidikan kita terlampau menekankan seremonial dan protokoler. Bahkan ada orang bilang sok militer. Alasan tuntutan sereminial inilah teguran, hukuman dan bahkan kekerasan kerap terjadi. Sekolah lebih didekatkan sebagai kantor pemerintah daripada sebagai taman atau tempat belajar bagi warga sekolah. Standar perilaku siswa diukur dengan PNS. Padahal tugas sekolah menciptakan juga jiwa interprenuer, kemandirian, menumbuhkembangkan telenta untuk membangun life skill.

Ketiga, ketidakadilan sosial. Ini terlihat dari adanya pendistribusian dana pendidikan di sekolah. Dalam bantuan dana pengadaan sarana pendidikan misalnya, pihak depdiknas sendiri masih bersikap diskriminatif. Sekolah yang dianggap bergengsi dan memberikan distribusi paling meruah, akan lebih diprioritaskan untuk mendapatkan bantuan dana pendidikan, dibandingkan sekolah umum lainnya. Tidak hanya itu, pihak Depdiknas sendiri cenderung mengakomodasi kepentingan pengajar ilmu eksakta dalam melakukan kajian praktis ataupun mengikuti lomba ilmiah. Sedangkan, kepentingan praktis pengajar ilmu sosial sangat dimarjinalkan. Buktinya, sejak banyak siswa yang menang dalam kejuaraan ilmu eksakta bertaraf internasional, Depdiknas mengucurkan dana secara deras pada sekolah-sekolah untuk menggenjot potensi siswa di bidang eksakta. Padahal, David Dikson (1999) pernah mengatakan bahwa mengunggulkan ilmu eksakta an sich dalam pendidikan sama halnya bersekutu dengan setan.

Keempat, yang terjadi antarsiswa (terlihat dalam MOS misalnya) adalah didorong pandangan senioritas dan yunioritas. Dengan berbagai cara yang kurang pas misalnya dengan bentak-bentak para senior memaksa yuniornya untuk menghargai dan menghormati. Apa ya harus begitu! Dan ini didukung sebagian para guru.

Kelima, faktor warisan dan balas dendam. Apa yang terjadi hari ini di sekolah, banyak terinspirasi oleh warisan terdahulu. Masih banyak guru yang mewarisi gaya dan paradigma gurunya dulu, misalnya merampas aksesories siswa tanpa bersalah, memotong rambut siswa yang tidak sesuai selera guru dengan sewenang-wenang, dan tindakkan premanisme lainnya tanpa disadari bahwa itu teladan buruk. Demikian juga siswa, akan mewarisan perilaku kakak kelasnya dan ditambah unsur balas dendam.

Jangan aneh kalau kita melihat tingkah laku kasar generasi kita, rendah unggah-ungguh, suka mengambil jalan pintas, menyeselaikan perbedaan, persoalan dengan kekerasan, itulah jujur kita akui sebagai bagian produk pendidikan kita.

Nah, kita berharap di tahun pelajaran 2008 ini praktik kekerasan dan penganiayaan (bullying) apa untuk alasan mendidik disiplin dst sudah tidak perlu ada di sekolah kita, jika kita ingin mereka tumbuh menjadi manusia yang berbudi pekerti halus, berkepribadian utuh dan berpenampilan simpatik, sebagaimana Ki Hajar Dewantara pernah mengajarkan kepada kita.

Tentu harapan ini tidak hanya sebatas angan-angan belaka. Pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan dan organnya tidak boleh hanya menunggu hasil laporan masyarakat/LSM dan para peduli pendidikan. Sementara itu juga penguasa (bupati) tidak hanya bangga dengan kebijakan politik program sekolah gratis. Tetapi harus jauh menerawang bagaimana nasib bangsa ini ke depan dengan menempatkan sekolah sebagai pijakan. Ingat mutu sekolah adalah mutu bangsa dan sekaligus harga diri bangsa. Jauhkan sekolah dari praktik kekerasan dan jargon politik belaka.

Penulis adalah guru sma 2 genteng, Banyuwangi. Mantan Kasek SMP SBI, aktivis. Tinggal di Genteng.

1 komentar:

HARDI SAPTONO mengatakan...

Setujuuuuuuuuuuuuu